"Kita tahu sekarang,
bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan
kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang
terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Sebab semua orang yang
dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk
menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu,
menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Dan mereka yang
ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka
yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang
dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya." (Roma 8:28-30)
Kalau
kacamata kita sudah berpusat pada diri kita sendiri, maka kebaikannya
selalu baik menurut kita. Kadang-kadang kalau ada kesulitan, orang
mengatakan: Tuhan pasti punya maksud yang baik di balik itu semua.
Tetapi kalau maksud baiknya tidak sesuai dengan maunya kita, maka kita
akan protes lagi pada Tuhan.
Apa maksud "baik" di sini? Di dalam
NIV Study Bible, kata "goodness for good" untuk orang-orang pilihan itu
adalah semakin menyerupai Kristus. Ternyata di dalam kesulitan, Tuhan
terus memoles kita dan membentuk kita, sehingga kita semakin menyerupai
Kristus. Bukan baik-baik seperti menurut kita. Kadang-kadang kalau sudah
benar-benar susah, kita akan mengatakan bahwa ada maksud yang indah.
Tetapi indah menurut maksud siapa?
Seorang utusan Injil
meninggalkan anak dan istrinya dan bersama seorang teman pergi ke
pedalaman. Belum ada jiwa yang ia injili atau yang menerima keselamatan
dari Tuhan, tetapi mereka berdua sudah dibunuh. Rencana indah apa kalau
sudah seperti itu? Kalau membawa Kabar Baik ke pedalaman Afrika, lantas
orang sekampung diselamatkan, kemudian kita mati, tidak apa-apa. Kalau
belum mulai sudah mati, itu namanya mati konyol. Apa yang baik kalau
seperti itu!
Banyak kali yang terjadi dalam hidup, kita
mengatakan bahwa Tuhan memunyai rencana yang baik. Sekali lagi: kita
tidak berpusat pada diri sendiri -- apa yang enak, apa yang senang dan
nyaman menurut saya; tetapi apa yang Allah mau. Dalam hal ini "for good"
itu, "good"-nya adalah "To the Lighness of His Son". Bukan kalau kita
menyerupai Kristus, maka kita kita bisa langsung membuat mukjizat.
Tetapi dalam hal moral dan karakter. Semakin hari kita semakin dipoles
menyerupai Kristus.
Dalam Roma 8:30, ada kata dipilih, dipanggil,
dibenarkan, dan dimuliakan. Kalau hari ini di dalam ruangan ini kita
bisa berkumpul sebagai orang percaya, saya pikir tidak ada harta yang
lebih berharga di dunia ini selain keselamatan kita. Bahwa kita boleh
hidup di dalam Kristus. Ini adalah mukjizat yang paling ajaib, bahwa
orang berdosa seperti kita, sampah di mata Tuhan boleh menjadi mutiara
berharga di mata-Nya. Ini luar biasa.
Semakin tahun saya melihat
pengajaran kepada anak-anak semakin sulit. Untuk metode, kita memang
bisa menyampaikan dengan gaya mereka. Tetapi kita harus berani
memberikan kepada mereka sesuatu (content) yang keras, dalam arti jangan
selalu memberikan yang lembut-lembut, yang menghibur, itu tidak akan
menghasilkan apa pun, kecuali mental yang melempem, yang tidak
berkembang sebagaimana harusnya. Misalnya, waktu kita mengajar,
memotivasi, apalagi ketika kita mengajar "Character Building", itu tidak
bisa banyak teori. Misalnya tentang bagaimana memerhatikan orang. Tidak
cukup anak hanya mendengar suara orang, mereka juga harus tahu perasaan
orang. Caranya bagaimana? Kalau ada orang sedang berbicara kamu harus
lihat matanya, mukanya, supaya kalau dia senang atau tidak senang, kamu
bisa tahu.
Pada waktu mengajar tidak bisa terlalu banyak teori,
tetapi harus banyak motivasi. Mengapa setelah kita mengajar, kita merasa
begitu lelah? Karena pada waktu kita mengajar, hati kita harus ada di
sana, sehingga pada waktu mengajar mereka, pastikan bahwa mereka tahu
bahwa kita tidak ada motivasi lain, tidak mencari pujian karena kita
mengajarnya enak atau apa pun, tetapi satu hal bahwa kalau kamu keluar
dari kelas ini dan kamu tidak berubah, maka kamu langsung berurusan
dengan Tuhan, karena gurumu sudah omong. Hal-hal seperti itu menantang
mereka.
Kitab Yesaya mengatakan, "Allah akan memberi kita hati
yang taat". Kita diubahkan. Itu masuk ke masa pengudusan atau penyucian
(Sanctivication). Hidup dalam pengudusan ini berarti pikiran kita harus
diubah. Kita menjadi milik Allah, akal budi kita diubah (ini proses) dan
kita belajar menyenangkan Tuhan dengan hidup sesuai firman-Nya. Untuk
apakah semua itu? Kadang sebagai orang tua, kita malu kalau anak kita
urakan. Kita maunya anak itu rapi, duduknya sopan dan tenang, yang tahu
aturan, bilang terima kasih kalau menerima sesuatu, dll..
Oleh
sebab itu, sebagai orang tua kita tidak terlepas dari jebakan keinginan
agar anak-anak kita memunyai penampilan yang sempurna. Ke mana pun
mereka pergi, paling tidak orang-orang bisa bilang, "Anaknya baik-baik
ya?" Ada rasa bangga untuk hal ini. Tetapi di dalam penyucian/pengudusan
tidak sedangkal itu yang ingin kita capai. Bukan hanya agar anakku
punya moral yang baik, anakku bisa bertegur sapa, anakku bisa memunyai
mulut yang manis dan menyenangkan orang lain. Pengudusan lebih dari pada
itu, karena menyangkut tujuan kekal (eternal goal). Tujuan untuk masa
kita dimuliakan. Pengudusan memiliki pengertian semakin menyerupai
Kristus dalam moral dan karakter. Dalam ayat 29 dikatakan bahwa supaya
Kristus menjadi yang sulung dari banyak saudara. Jadi, tidak hanya dari
segi moral dan etika anak-anak kita dikatakan baik.
Saya jadi
teringat pada murid-murid saya: mereka sering bingung ketika saya
bertanya, "Kamu yakin kalau kamu sudah diselamatkan? Kalau tiba-tiba
nanti sore kita dipanggil Tuhan, apakah kamu siap?" Mereka tidak berani
menjawab. Ini menakutkan bagi saya yang sudah mengajar berulang-ulang
pada mereka. Muncul pertanyaan dalam hati, "Mengapa?" "Apa yang membuat
mereka seperti ini?" Akhirnya, saya ubah pertanyaan dengan, "Siapa yang
pernah menerima Kristus dalam hati dan siapa yang tahu bahwa sekarang
Tuhan Yesus ada di dalam hati?" Banyak yang angkat tangan. Ketika saya
menanyakan mengapa tadi kalian tidak angkat tangan? Mereka menjawab,
"Kan kami masih suka bohong, masih suka bicara jorok." Akhirnya saya
mengerti mengapa tadi mereka tidak berani menjawab. Ternyata mereka
pikir bahwa kalau mereka sudah menerima Kristus, mereka sudah tidak bisa
bohong.
Saya jelaskan pada mereka bahwa di masa pengudusan ini,
ketika sudah menerima Kristus, bukan berarti kita langsung masuk surga.
Tetapi kamu harus mengadakan perlawanan terhadap dirimu, terhadap dosa.
Kamu tidak berdiam diri saja. Setiap hari perang, bukan melawan orang,
tetapi memerangi segala sesuatu yang muncul di dalam diri kita untuk
tidak taat kepada Tuhan. Roh itu yang harus terus dilawan. Kamu tidak
boleh menyerah. Kalau kamu jatuh, kamu boleh mengaku di hadapan Tuhan,
tetapi jangan biarkan dirimu jatuh dengan sengaja. Akhirnya, anak-anak
mulai mengerti bahwa masa-masa pengudusan itu adalah masa-masa kita
terus berperang. Sampai kapan? Sampai nanti Tuhan bilang "STOP".
Sebagai
orang tua, kita juga harus cukup mengerti bahwa ini adalah masa-masa
yang sulit. Kita yang sudah dewasa saja, yang "self control"-nya sudah
lebih besar daripada anak-anak, kita masih juga mengalami jatuh-bangun,
dsb.. Apalagi bagi anak-anak yang masih sangat muda dan masih kecil. Di
sinilah masa-masa kita belajar dan bertumbuh. Di sini juga kita harus
mengajarkan kepada anak-anak untuk bertobat setiap saat. Begitu salah,
langsung minta ampun pada Tuhan. Itu akan cukup menjaga langkah mereka.
Suatu kali mereka bersalah atau berdosa, Roh Kudus pasti mengingatkan,
dan pada saatnya mereka akan berkata Tuhan ampunilah saya.
Bagaimanapun
masa-masa ini adalah masa-masa pembentukan atau "pemolesan". Banyak hal
yang negatif di dalam hidup kita harus dilepas. Kita adalah manusia
yang lebih senang berada di dalam "comfort zone" (zona aman/zona nyaman
kita). Merasa nyaman dengan keadaan kita yang sekarang, dengan alasan:
kalau sudah enak dengan keadaan sekarang, mengapa kita harus berubah?
Untuk berubah itu bukan hal yang mudah. Ini harus cukup kita pahami.
Kemudian
kata "pertumbuhan". Kalau kita katakan kita bertumbuh, anak kita
bertumbuh, apa artinya itu? Bertumbuh di sini berbeda dengan pertumbuhan
fisik. Kalau anak semakin besar ,mereka akan semakin mandiri dan bisa
mengerjakan segala sesuatunya sendiri, makin independen. Tetapi
bertumbuh secara rohani bagi seorang Kristen berbeda. Semakin dewasa
maka dependensinya kepada Tuhan, itu semakin jadi. Semakin mengutamakan
Tuhan, apa-apa Tuhan.
Pada waktu baru bertobat saya punya masalah
dan datang pada pembimbing saya. Beliau hanya mengatakan "berdoa saja".
Pada waktu itu saya sangat jengkel. Sepertinya, dia tidak punya jalan
lain selain berdoa. Apa tidak ada jalan atau cara lain? Tetapi itu
merupakan ciri-ciri dari orang yang dewasa rohani. Semakin dewasa,
semakin dia "dependent" (bergantung) kepada Allah.
Satu hal yang
sangat melegakan adalah bukan soal seberapa besarnya aku bertumbuh,
tetapi apakah aku bertumbuh. Mengapa? Karena dalam kehidupan Kristen,
kalau tidak maju, kita mundur. Tidak ada diam di tempat. Pada saat kita
merasa tidak bertumbuh, kita "stag". Itu bukan berhenti tetapi kita
sedang mundur teratur. Jadi, pastikan kita selalu maju. Anak-anak juga
begitu. Kita tidak bisa menuntut mereka atau membandingkan mereka.
Setiap anak unik, setiap anak memunyai masa pertumbuhannya sendiri dan
Tuhan tahu itu. Apa yang harus kita lakukan sebagai orang tua? Doakan
dan minta Tuhan untuk memberikan pertumbuhan.
Apakah salah kalau
kita memunyai mimpi/cita-cita/harapan untuk anak-anak kita? Tidak, tidak
salah. Itu wajar dan positif. Tuhan bisa pakai cara itu. Tetapi cara
kita untuk melihat anak kita sudah dewasa secara rohani atau belum,
adalah dengan memberikan dia masalah. Melalui penyelesaian masalah yang
ia lakukan, apakah firman Tuhan, dll. yang sudah kita sampaikan atau
ajarkan kepadanya, dia terapkan dalam penyelesaian masalah tersebut.
Maka kita akan tahu "warna" anak itu (apakah sudah matang atau belum).
Untuk anak-anak yang terbuka kita akan lebih gampang mendeteksinya.
"Familly
devotion". Kita sering menjadikan "family devotion" itu sebagai sesuatu
yang kaku, semua harus duduk diam dan tegak, tidak boleh tidur-tiduran,
membuka Alkitab, dan tidak boleh bicara dengan yang lain. Anak-anak
yang sudah kelas 6 ke atas akan merasa sedang dihukum dengan keharusan
tersebut. Dia sangat tidak menyukainya dan akan menghindarinya. Namun di
satu sisi, itu keharusan agar anak tahu bahwa di dalam keluarga ini,
berlaku hukum Tuhan yang setiap hari kita bicarakan. Setiap hari juga
kita mengucap syukur pada Tuhan. Kalau ada masalah kita pasti mengadunya
pada Tuhan.
Di keluarga saya sendiri, saya bergumul dengan hal
ini. Saya tidak mau anak-anak merasa "muak" atau jenuh dan tidak
menikmati hal ini, sehingga yang saya lakukan adalah, setiap malam
berkumpul di tempat tidur Papi-Mami. Kadang-kadang saya tidak baca
Alkitab, tetapi memulainya dengan menanyakan ada cerita apa yang mau
diceritakan, dan saya juga bisa memulainya terlebih dahulu. Misalnya
menceritakan kekesalan terhadap salah seorang murid, tetapi saya coba
menyelesaikannya dengan berdoa minta kekuatan dari Tuhan. Jadi, kami
hanya "share" saja. Namun inilah waktu yang mereka tunggu-tunggu. Kalau
saya sedang lelah dan mau langsung istirahat, mereka akan minta
"ngobrol" dulu. Kita tidak harus selalu membaca Alkitab, tetapi melalui
kasus-kasus yang ada, bagaimana kita sebagai orang tua memberikan arahan
yang tentunya berdasarkan firman Tuhan. Tetapi kebiasaan membaca
Alkitab juga harus ada. Maka, kami menentukan untuk melakukannya pada
hari-hari tertentu. Ada kebiasaan dalam keluarga kami untuk baca Alkitab
sama-sama, doa sama-sama, dan siapa pun yang ada masalah didoakan
sama-sama. Judulnya bukan persekutuan tetapi "ngobrol".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar